Penelitian mengenai teknologi benih
buatan telah dimulai untuk mengatasi kendala bagi tanaman yang penyediaan
benihnya terbatas dan tanaman yang memiliki keragaman genetik. Benih buatan
juga dikenal dengan benih sintetik atau atau benih somatik yang memanfaatkan
embrio somatik atau sel-sel somatik yang mampu tumbuh dan berkembang membentuk
struktur embrio zigotik dengan sifat-sifat embrio somatik.
Konsep produksi dan pemanfaatan benih sintetik pertama kali dikemukakan oleh Murashige tahun
1977 (Cyr, 2000) dan dikembangkan oleh Radenbaugh et al., (1984) yang pertama kali
memproduksi benih sintetik dari embrio somatik tanaman alfalfa. Benih sintetik dapat diproduksi dengan pelapisan dalam gel yang
berbahan dasar alginat (Redenbaugh et
al., 1993). Keberhasilan pemanfaatan benih sintetik sebagai
propagul, membutuhkan suatu sistem produksi yang berkelanjutan agar memiliki
daya vigor yang tinggi. Kapsul gel yang mengandung nutrisi, pestisida dan
organisme menguntungkan telah lama dianggap sebagai pengganti kulit biji dan
endosperm (Bajaj, 1995).
Benih sintetik didefinisikan sebagai embrio somatik, tunas, agregat sel,
atau jaringan lain yang dikemas dalam hydrogel dan dapat disemai sebagai
benih yang memiliki kemampuan untuk menjadi tanaman di
bawah kondisi in vitro atau ex vitro serta dapat
disimpan dalam jangka waktu yang lama (Capuano et al., 1998). Produksi benih sintetik adalah teknik yang
potensial untuk perbanyakan tanaman dan pelestarian, terutama tanaman komersial
budidaya yang tidak menghasilkan benih, tanaman transgenik dan tanaman lain yang
perlu dijaga sifat-sifat unggulnya (Saiprasad, 2001). Dalam cakupan yang
lebih sempit, benih sintetik diartikan sebagai bulir-bulir kapsul gel yang
dapat berisi semua jenis eksplan dan memiliki kemampuan untuk berkecambah (Nhut et al., 2005). Produksi benih buatan
adalah teknik yang digunakan untuk menyebarkan dan melestarikan tanaman dan
telah diterapkan pada banyak tanaman (Wang dan Qi, 2010).
Benih sintetik dimanfaatkan dalam menggandakan tanaman yang
direkayasa secara genetis (tanaman transgenik), hibrida somatis dan cytoplasmic
(yang didapatkan melalui teknik fusi protoplas. Selain itu, benih sintetik
dapat berguna untuk pemeliharaan genotip khusus yang diinginkan
(cryopreservation). Juga berguna sebagai alat untuk penelitian percobaan
mempelajari proses embryogenesis zigotik dan memahami role dari endosperm dalam
perkembangan embrio normal dan perkecambahan. Benih sintetik mampu disimpan
dalam jangka waktu yang cukup lama tanpa kehilangan viabilitasnya, memudahkan
dalam transportasi dan mudah dikemas pada saat penyimpanan (Saiprasad, 2001).
Secara ekonomi, benih sintetik dimaksudkan untuk diproduksi dalam skala besar
dari berbagai tanaman unggul (Bapat, 1993).
Dalam aplikasinya, telah banyak dilakukan studi untuk
mempelajari bagaimana membuat, memelihara dan menyimpan benih sintetik. Seperti
yang telah dilakukan Kitto and Janick (1982) dalam Bhojwani and Razdan (1996) yang menggunakan embriosomatik
tanaman wortel sebagai model studi pembuatan benih sintetik. Menurut Radenbough
and Ruzin (1988), beberapa hal yang harus diperhatikan dalam produksi benih
sintetik antara lain:
- Kualitas embrio somatik harus dapat dijaga. Pembentukan embriosomatik dari kultur in-vitro diharapkan mampu mencapai 95%.
- Viabilitas embrio harus dijaga agar tetap tinggi setelah penyimpanan dan pertumbuhan embrio somatik yang di enkapsulasi setelah aklimatisasi.
- Sorting embrio: dibutuhkan embrio yang homogen untuk membuat keseragaman benih sintetik.
- Proses kapsulasi :
o Penentuan kekerasan gel yang ideal untuk
kapsul benih tertentu yang terkait dengan kemudahan handling
o Komposisi nutrisi yang cukup untuk embrio
dan fungsi kapsul sebagai pelindung embrio dari serangan mikroorganisme serta
tidak bersifat toksik bagi embrio somatik.
5. Preservasi:
bagaimana mengkombinasikan metode preservasi (penyimpangan) embriosomatik
dengan metode kapsulasi.
Namun demikian, teknik ini belum berhasil
dilakukan pada semua jenis tanaman, disamping itu umumnya sistem embrio somatik
yang berhasil dilakukan pada beberapa tanaman jumlahnya masih sedikit. Menurut
Bapat (1993), beberapa masalah utama yang sering terjadi dalam benih sintetik
yaitu : 1) banyak planlet yang abnormal, 2) tanaman tidak mampu bertahan hidup.
3) tanaman mengalami nekrosis meristem akar dan berbatang lunak 4) tanaman
terlambat pertumbuhannyadan sifat toleran terhadap kondisi lingkungan
sub-obtimal selama tumbuh menurun, 6) tanaman semakin bersifat rentan terhadap
mikroba.
Terdapat dua tipe benih sintetik yang
telah dikembangkan yaitu hydrated
artificial seed dan desicated
artificial seed (Bhojwani and Razdan, 1996). Hydrated
artifical seed terdiri dari embriosomatik tunggal yang diselubungi dengan
hydrogel salah satunya dengan selubung calcium alginat. Embrio bercampur dengan
calcium alginat dan dimasukan ke dalam larutan garam calcium untuk membentuk
kapsul. Menurut Radenbough et al.
(1991), metode enkapsulasi dengan hydrogel menjadi metode yang paling banyak
digunakan dalam produksi benih sintetik. Sedangkan desicated artificial seed dibuat dengan memberikan perlakuan
desikasi pada embriosomatik tunggal, akar dan kalus. Menurut Kitto and Janick
(1982) dalam Bhojwani and
Razdan (1996), embrio somatik wortel
yang telah mengalami proses desikasi pada suhu 4oC dan kelembaban
45% dapat disimpan dalam jangka waktu 8 bulan tanpa terjadi penurunan
viabilitas.
sumber: http://kultur-jaringan.blogspot.com/2013/02/benih-sintetik.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar