Sobat bumi, kita semua mengetahui bahwa
kekayaan alam Indonesia sungguh luar biasa besar nilainya. Kekayaan alam
itu tersebar baik di darat maupun di laut dan menjadi sumber
penghidupan bagi kita semua.
Sejarah mencatat bahwa kekayaan alam yang
begitu besar itu telah memancing bangsa barat untuk datang dan
bermaksud untuk turut menikmatinya. Akibatnya, selama ratusan tahun
lamanya bangsa kita terkungkung dalam derita sebagai negara jajahan.
Kini, 67 tahun sudah Indonesia resmi
merdeka. Bangsa kita telah memiliki kedaulatan penuh untuk mengelola
kekayaan alam yang terkandung di dalam tanah airnya itu.
Minyak Bumi sebagai Kekayaan Alam Andalan Indonesia
Minyak bumi adalah salah satu kekayaan
alam yang menjadi andalan bangsa Indonesia. Ia merupakan salah satu
sumber energi yang berkontribusi besar dalam memasok keperluan energi
bagi kelangsungan hidup manusia.
Peran minyak bumi sebagai sumber energi
utama itu hingga kini belum dapat tergantikan dengan sumber yang lain.
Sektor listrik, transportasi, dan industri mutlak membutuhkan pasokan
minyak bumi itu. Tanpanya, roda perekonomian akan berhenti bergerak
sehingga berpengaruh buruk bagi kesejahteraan masyarakat.
Kontribusi minyak bumi bagi penerimaan
negara sendiri cukup besar. Pada masa orde baru, penerimaan negara dari
sektor minyak bumi dan gas bahkan selalu memberikan kontribusi yang
sangat besar dan menempati urutan pertama dengan besaran kontribusi
sekitar 70%. Angka ini terus bertahan selama belasan tahun dengan
ekspansi dan eksplorasi yang semakin besar. Namun kemudian, kontribusi
itu terus menurun seiring dengan menurunnya jumlah cadangan minyak
Indonesia dan rendahnya jumlah minyak yang diproduksi. Kini, kontribusi
penerimaan negara dari sektor migas itu hanya berkisar 25%-30% saja[1].
Sobat bumi mungkin belum semuanya
mengetahui bahwa tambang minyak pertama di Indonesia bernama Tambang
Telaga Said. Tambang ini terletak di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara,
ditemukan pada tahun 1885 dan dieksploitasi oleh perusahaan Belanda
bernama Royal Dutch. Setelah penemuan tambang pertama itu, segera
bermunculan pula penemuan tambang-tambang lain yang tersebar di
pulau-pulau Indonesia.
Selama bertahun-tahun minyak bumi
Indonesia itu dieksploitasi secara gratis oleh para penjajah. Titik
terang mulai muncul ketika pada tanggal 10 Desember 1957 negara
mendirikan PT Pertambangan Minyak Nasional Indonesia (PERMINA). PT
PERMINA ini merupakan cikal bakal dari lahirnya PT PERTAMINA yang kita
kenal sekarang ini.
Cadangan dan Produksi Minyak Bumi Indonesia
Pada dasarnya, belum ada data yang pasti
mengenai berapa cadangan minyak bumi yang ada dalam perut bumi
Indonesia. Pada tahun tertentu, jika tidak ditemukan cadangan baru, maka
secara otomatis cadangan yang ada pada tahun tersebut akan lebih kecil
daripada tahun sebelumnya. Namun, jika ternyata ditemukan cadangan yang
baru, keadaan bisa saja menjadi sebaliknya.
Tren cadangan minyak bumi Indonesia dari
tahun 2004 hingga 2011 menunjukkan angka penurunan. Berikut ini adalah
data resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai data
cadangan minyak bumi di Indonesia sampai dengan tahun 2011.
Sementara itu, seiring dengan menurunnya
jumlah cadangan minyak bumi itu, produksi minyak bumi Indonesia dari
tahun ke tahun juga tengah mengalami penurunan cukup signifikan, sebagai
berikut:
Melihat kondisi tersebut, menjadi tanda
bahwa minyak bumi di perut Indonesia telah memasuki masa-masa
penghabisan. Beberapa sumber mengatakan bahwa cadangan minyak bumi itu
akan habis dalam kurun waktu 10 tahun,[2] beberapa yang lain mengatakan bahwa cadangan itu akan habis pada tahun 2032.[3]
Apapun itu, semuanya sepakat bahwa sumber
energi fosil memang merupakan sumber energi yang tidak terbarukan.
Suatu saat kelak, ia akan habis dari bumi kita. Kapan habisnya, hanya
tinggal menunggu waktu saja.
Kembali ke Energi Hijau
Dengan kondisi cadangan minyak bumi yang
semakin menipis itu, dunia kemudian melirik kembali ke energi hijau.
Energi hijau merupakan sebutan bagi sumber energi yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan.
Prinsipnya sederhana, tumbuh-tumbuhan
merupakan organisme penyimpan energi yang efektif. Tumbuhan mengambil
bahan mentah seperti air dari dalam tanah dan karbondioksida dari udara
kemudian mengubahnya menjadi oksigen dan gula dengan bantuan sinar
matahari. Energi itu disimpan tumbuhan di daun, batang, buah, dan bahkan
akar. Energi yang tersimpan itu akan dilepas ketika tanaman telah mati,
membusuk, atau dimakan manusia atau hewan. Energi itu lah yang dapat
dimanfaatkan sebagai energi hijau, tentu saja melalui serangkaian proses
dan mekanisme tertentu.
Bagi sobat bumi yang menyukai kajian
mengenai sejarah, mungkin sobat bumi pernah mendengar bahwa rakyat
Indonesia pernah dipaksa oleh penjajah Jepang untuk menanam pohon jarak
pagar untuk diambil minyaknya sebagai bahan pelumas kendaraan dan
peralatan perang. Prinsip ini pun sebenarnya merupakan salah satu bentuk
pemanfaatan energi hijau.
Sobat bumi barangkali juga pernah
mendengar bahwa penemu mesin diesel pertama, Rudolf Diesel, ketika
menguji coba mesin diesel pertamanya pada tahun 1898, ia menggunakan
minyak kacang dan minyak ganja. Henry Ford juga pernah membuat sebuah
mobil yang digerakkan dengan alkohol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Ini artinya, pergulatan mengenai energi
hijau telah dilakukan sejak dulu kala. Namun, kemudian pamor energi
hijau seakan terkalahkan dengan energi fosil. Sebagian besar
pengembangan energi, lebih banyak bertumpu pada energi fosil itu. Kini,
ketika energi fosil mulai menunjukkan tanda-tanda kelangkaan, energi
hijau kembali dilirik meskipun sifatnya masih dianggap sebagai energi
alternatif semata.
Indonesia Negara yang Kaya Sumber Energi Hijau
Indonesia merupakan sebuah negara yang
dianugerahi kekayaan alam sangat kompleks. Pertama, kandungan barang
tambang dalam perut buminya lumayan besar. Kedua, dengan dukungan iklim
yang toleran, tanah-tanah yang dimiliki merupakan tanah-tanah yang
subur. Dan ketiga, di atas tanah-tanah yang subur itu telah lama tumbuh
berbagai macam tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupan.
Di Indonesia, tercatat terdapat 8000 tumbuh-tumbuhan yang telah teridentifikasi.[4]
Jumlah ini diperkirakan baru 20% dari seluruh jumlah tumbuhan yang
hidup di Indonesia. Tumbuh-tumbuhan itu tersebar di daratan maupun di
dalam lautan.
Tumbuh-tumbuhan yang merupakan penyimpan
cadangan energi yang efektif itu tak hanya dapat dimanfaatkan sebagai
sumber pangan. Faktanya, tumbuh-tumbuhan itu bermanfaat sebagai sumber
energi bahan bakar yang tak akan ada habisnya. Berbagai macam penelitian
telah membuktikannya.
Selama di Indonesia masih terdapat media
tanah, air, dan sinar matahari, tumbuh-tumbuhan akan terus tumbuh di
atasnya. Maka dari itu, dengan sendirinya energi hijau merupakan sebuah
energi yang terbarukan.
Seharusnya kita tidak perlu khawatir
dengan berkurangnya cadangan minyak fosil dunia. Asalkan energi hijau
itu mampu dikembangkan dengan optimal, kita tetap memiliki keunggulan
komparatif dari negara-negara di seluruh dunia. Kita dianugerahi tanah
yang subur dengan berbagai macam tanaman yang bermanfaat. Kita berbeda
dengan negara-negara barat atau timur tengah yang dianugerahi kandungan
minyak yang tinggi namun tidak dianugerahi kesuburan tanah semelimpah
kita.
Berbagai Macam Tanaman Sumber Energi Hijau
Hingga saat ini, di Indonesia telah
ditemukan sekitar enam puluhan tanaman yang dapat dikembangkan menjadi
energi hijau. Tanaman-tanaman itu ada dan hidup dengan subur di
tanah-tanah Indonesia, tersebar di hampir seluruh nusantara.
Tulisan ini tidak akan mengupas semua
jenis tanaman itu. Namun, ada baiknya sobat bumi mengetahui beberapa
tanaman utama yang selama ini menjadi kajian para peneliti. Beberapa
tanaman tersebut akan saya jelaskan satu demi satu berikut ini.
1. Jarak pagar
Jarak pagar merupakan sumber biodiesel.
Tanaman ini banyak ditanam di Indonesia semasa penjajahan Jepang. Kala
itu, penjajah Jepang memaksa penduduk Indonesia untuk menanam pohon
jarak di pagar-pagar rumah dan lahan penduduk. Tujuannya, tanaman jarak
tersebut nantinya akan diambil minyaknya untuk dijadikan pelumas
kendaraan dan alat tempur tentara Jepang.
Di negara lain, minyak jarak pagar juga
telah dikembangkan, yakni di Mali, India, dan beberapa negara Afrika. Ke
depan, minyak jarak pagar ini diproyeksikan akan menggantikan peran
solar sebagai bahan bakar.
2. Kelapa sawit
Kelapa sawit yang kita kenal selama ini
merupakan bahan baku minyak goreng. Kenyataannya, kelapa sawit juga
merupakan sumber biodiesel yang menyimpan potensi cukup besar. Minyak
kelapa sawit ini telah banyak dikembangkan di Malaysia. Indonesia
sendiri tidak mau kalah dengan hal itu. Pada tahun 2004, misalnya,
pernah diujicobakan biodiesel berbahan dasar minyak kelapa sawit pada
sebuah mobil bermesin diesel yang menempuh rute Medan-Jakarta. Hasilnya,
cukup menjanjikan.
3. Singkong
Sobat bumi tentu pernah menikmati
lezatnya singkong. Entah dalam bentuk singkong rebus atau produk
olahannya semisal keripik. Mungkin sebelumnya kita tak menduga bahwa
singkong juga bisa kita manfaatkan sebagai sumber bioetanol. Bioetanol
tersebut diproyeksikan akan menggantikan peran bensin sebagai bahan
bakar. Hal ini pun sedang terus digalakkan oleh pemerintah. Dalam sebuah
penelitian diperoleh fakta bahwa dari 1000 kilogram singkong akan
menghasilkan 166,6 liter bioetanol. Sebuah sumber yang cukup potensial.
4. Kelapa
Kita semua tahu bahwa kelapa tumbuh di
hampir semua tempat yang memiliki dataran rendah. Selama ini, kelapa
dikonsumsi penduduk untuk keperluan memasak, diambil minyaknya, atau
diminum airnya yang masih segar. Nyatanya, kelapa juga menyimpan potensi
sebagai bahan bakar yang lumayan. Ia bisa digunakan sebagai bahan bakar
berupa biodiesel dan minyak tanah. Di Filipina, pengembangan kelapa
sebagai bahan bakar telah dilakukan secara besar-besaran.
5. Tebu
Tebu merupakan bahan baku dalam pembuatan
gula. Nyatanya, tebu juga dapat digunakan sebagai bahan baku bioetanol.
Bioetanol dari tebu bisa dihasilkan dari tebu secara langsung maupun
dari limbah tetesan tebu yang muncul dalam pembuatan gula. Di Brasil,
limbah tebu yang selama beberapa waktu dikenal sangat mengganggu,
nyatanya telah mampu diubah menjadi bioetanol. Pada akhirnya, Brasil
tidak hanya menjadi salah satu negara pengekspor gula terbesar di dunia.
Ia juga memproduksi bioetanol dari limbah tebu yang dihasilkan. Tentu
kita patut iri dengan kemampuan Brasil itu.
Di luar tanaman-tanaman tersebut di atas,
terdapat tanaman lain yang juga menyimpan potensi sebagai sumber energi
hijau, seperti jagung, bunga matahari, kacang tanah, sorgum, ganggang,
kecipir, alpukat, nipah, nimba, randu, labu merah, sagu, ubi jalar,
kelor, wijen, jarak kepyar, ganggang, dan spesies-spesies lainnya.
Banyak dan semuanya ada di Indonesia bukan?
Lumut pun Bisa Dijadikan Minyak?
Berita terkahir mengenai energi hijau
yang saya ketahui juga datang dari lumut. Para peneliti dari Amerika
Serikat telah berhasil mengekstrasi minyak dari lumut. Mengagetkan
bukan? Bayangkan, dari sebuah lumut saja bisa menghasilkan bahan bakar,
sedang lumut sendiri kita tahu merupakan tanaman perintis yang sangat
gampang ditemukan di tempat-tempat lembab, seperti pinggiran sungai atau
di dalam hutan. Kelak, dengan sedikit rekayasa lingkungan, lumut-lumut
itu dapat dibudidayakan dengan mudah di tanah-tanah kita.
Berikut kutipan beritanya:
Menuju Indonesia Mandiri Melalui Energi Hijau
Dengan banyaknya sumber energi hijau yang
terhampar di bumi pertiwi, bukan tidak mungkin kelak kita akan
benar-benar menjadi bangsa yang mandiri. Sekali lagi, kita memiliki
keunggulan komparatif atas sumber-sumber energi hijau itu dari
negara-negara lain. Tanah kita tanah yang subur. Aneka tanaman tumbuh di
atasnya. Jika keunggulan ini bisa kita optimalkan dengan sebaik
mungkin, alhasil kita akan menjadi negara penyumbang energi hijau
terbesar di dunia.
Mengenai hal itu, tentu lah dibutuhkan political will
yang serius dari pemerintah. Bagaimanapun, pemerintah adalah pihak yang
paling menentukan arah pembangunan energi kita. Pemerintah yang
mempunyai dana untuk mengembangkan energi hijau itu. Kuncinya, ada di
tangan pemerintah. Namun begitu, melihat potensi yang ada itu, sulit
rasanya bagi kita untuk tidak optimis dengan keunggulan yang kita miliki
itu.
Petani pun Tersenyum
Dengan pengembangan energi hijau yang
masif, efek baiknya tidak hanya berupa ketersediaan energi yang melimpah
di negara kita. Hal ini pun akan sangat menggembirakan bagi para
petani.
Petani kelak akan lebih tenang dalam
menanam berbagai macam tanaman bermanfaat. Permintaan akan produk-produk
pertanian tidak hanya akan datang dari sektor pangan, tetapi juga
sektor energi. Nilai tukar produknya akan meningkat. Imbasnya,
kesejahteraan petani yang selama ini kita kenal masih rendah, dengan
sendirinya akan meningkat.
Sayangnya, terkadang
kebijakan pemerintah untuk memajukan petani itu tidak bisa diterapkan
dengan pas pada tataran praktik. Sekitar tahun 2006, pemerintah pernah
begitu gencar mengampanyekan tanaman jarak pagar untuk ditanam para
petani kita. Kampanye yang gencar itu pada dasarnya telah berhasil
membuat para petani menanam jarak pagar di lahan-lahan mereka. Namun,
ketika jarak pagar yang petani tanam sudah dipanen, harga biji jarak
pagar tidak sesuai dengan yang petani harapkan. Akibatnya, petani merasa
malas untuk menanam kembali jarak pagar itu karena harganya yang
dinilai terlalu rendah.[5]
Kejadian sebagaimana dalam kasus jarak
pagar di atas mestinya tidak boleh terulang lagi. Hal ini, sekali lagi,
kuncinya ada di tangan pemerintah.
Satu Kampung Satu Mesin Pengolah
Kita semua tahu bahwa setiap daerah
mempunyai potensi pertanian yang berbeda-beda. Ke depan, andai saja
konsep mengenai energi hijau itu benar-benar terlaksana, bukan tidak
mungkin setiap daerah itu mempunyai bahan bakar hijau yang berasal dari
tanaman-tanaman sesuai dengan ciri khas daerah tersebut.
Wilayah Sumatera, misalnya, unggul dari
tanaman kelapa sawit dan karet. Maluku unggul dengan sagu. Madura unggul
dengan jagung. Beberapa daerah lain bisa segera menyesuaikan dengan
karakteristik lokal masing-masing. Dengan latar belakang demikian, bukan
tidak mungkin jika setiap daerah kelak akan memiliki mesin pengolahan
minyak sendiri untuk mengolah tanaman-tanaman penduduk menjadi bahan
bakar.
Setiap daerah kelak akan mandiri dengan
energi yang dimilikinya masing-masing. Sumbernya berasal dari
tanaman-tanaman mereka sendiri. Mereka mengolahnya sendiri dengan mesin
yang dimiliki sendiri atau bersama-sama.
Sobat bumi, coba kita bayangkan jika hal
demikian bisa terjadi. Begitu luar biasa manfaatnya. Hal ini menurut
saya bukan sesuatu yang mustahil asalkan disertai dengan komitmen dan
kerja keras dari pemerintah dan diiringi dengan jalinan kemitraan yang
baik dengan masyarakat.
Jika ini terealisasikan, kelak energi
hijau akan menjadi energi yang utama bagi keperluan hidup masyarakat.
Tanah-tanah Indonesia sudah menyediakan sumber itu sejak lama. Selama
air masih tersedia dan selama matahari masih menyinari bumi pertiwi
kita, energi hijau akan tetap ada. Tinggal kita mau memanfaatkannya
atau tidak.
Namun begitu, bukan berarti kita semua
boleh menyombongkan diri dengan potensi yang kita miliki itu, apalagi
sampai berlaku boros dengan segala sumber energi fosil yang selama ini
ada. Pembuatan energi hijau masih membutuhkan proses yang panjang,
dengan dana yang tidak sedikit, dan tentu saja disertai kerja keras yang
nyata.
Sobat bumi sekalian, semoga kelak bangsa kita bisa menjadi bangsa yang benar-benar mandiri, dengan potensi yang kita miliki itu.
http://teguhalkhawarizmi.wordpress.com/2012/11/26/menantikan-energi-hijau-untuk-kemandirian-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar