Gambaran kolonisasi di luar Bumi. kredit : ESA |
Pada tahun 1968, tahun 2001 terasa masih sangat jauh. Pada tahun
pembuka milenium ketiga ini bukan tak mungkin teknologi sudah sangat
maju sehingga perjalanan antariksa sudah menjadi sangat umum.
Bulan sudah menjadi koloni kita dan penerbangan Bumi-Bulan berjalan
beberapa kali dalam sehari, sebuah stasiun antariksa menjadi tempat
transit untuk pindah pesawat, dan dalam waktu dekat sudah ada rencana
untuk mengirim manusia ke Planet Jupiter. Sebuah perjalanan yang
membutuhkan waktu beberapa tahun namun sedang dilaksanakan. Gravitasi
buatan diciptakan melalui roda yang berputar pada sumbunya dan sebagian
besar awak ditidurkan dalam kamar hibernasi. Hanya dua awak yang bekerja
selama perjalanan dengan dibantu oleh komputer super canggih yang
memonitor keadaan pesawat.
Paling tidak demikianlah yang mereka bayangkan pada tahun 1968. Almarhum sutradara Stanley Kubrick dan rekannya Arthur C. Clarke—penulis fiksi ilmiah kenamaan yang bermukim di Sri Lanka—mengadaptasi cerita pendek Clarke sebelumnya, The Sentinel, dan melahirkan sebuah film berpengaruh, 2001: A Space Odyssey,
yang tidak hanya sangat akurat dalam penggambarannya tentang antariksa,
namun juga menggambarkan posisi manusia dalam penjelajahan antariksa.
Permulaan milenium ketiga, 2001, bagi mereka adalah permulaan zaman
antariksa (space age) yang sebenarnya saat manusia benar-benar
menyadari posisinya dalam antariksa: seorang bayi dalam kandungan yang
siap dilahirkan dan menjelajah dunia antariksa yang luas. Demikian
berpengaruhnya film tersebut sampai orang menduga-duga apakah pada tahun
2001 nanti memang kemajuan teknologi sudah seperti yang digambarkan
film tersebut.
Pandangan optimistis ini tak jua hilang saat Clarke menulis cerita pendek Transit of Earth yang mengambil waktu tahun 1984. Pada tahun itu terjadi transit Bumi dilihat dari Planet Mars
(dilihat dari Mars, Bumi dapat dilihat bergerak melintasi Matahari) dan
seorang astronot yang terdampar sempat menikmati pemandangan tersebut
sebelum menghembuskan nafas terakhirnya karena kehabisan oksigen.
Walaupun berakhir tragis, namun ada pesan tersurat yang disampaikan
Clarke di sini: Pada tahun 1984, penjelajahan manusia di Planet Mars
sudah dapat dilakukan.
Terbitnya Bumi di permukaan Bulan, dipotret pada tanggal 24 Desember 1968 oleh astronot-astronot Apollo 8. Sumber: Wikipedia |
Penjelajahan antariksa! Pada tahun 1968, bolehlah Clarke bersama Kubrick, saat melahirkan 2001: A Space Odyssey,
berpikir optimis karena ilmuwan dan insinyur yang dikontrak NASA sudah
sepuluh tahun melakukan eksperimen dan mengirim manusia ke luar angkasa
walaupun baru sebatas orbit Bumi. Pada hari natal tahun tersebut, 1968,
astronot Apollo 8
berhasil menjadi orang-orang pertama yang meninggalkan orbit Bumi dan
mengitari Bulan. Delapan bulan kemudian, Juli 1969, untuk pertama
kalinya manusia menginjakkan kaki di Bulan. Penguasaan antariksa oleh
manusia serasa tinggal selangkah lagi.
Impian menjelajah angkasa sama tuanya dengan mimpi-mimpi manusia
lainnya. Semenjak dulu langit yang tanpa batas adalah ranah dewa-dewi
dan manusia biasa yang mencoba menjelajahinya pasti akan mati. Icarus
menantang kepercayaan ini, terbang mendekati langit, dan kehilangan
nyawanya. Langit kehilangan keangkerannya ketika Newton dan Kepler
membongkar rahasia pergerakan langit dan Somniuum,
buah karya Kepler, bercerita tentang penjelajahan Bulan dengan bantuan
makhluk halus, lahir. Selanjutnya literatur fiksi ilmiah tentang
penjelajahan antariksa dan dunia lain mewarnai kehidupan kita. Dan
kini…mimpi itu terwujud.
Pioneer 10, diluncurkan pada tahun 1972, adalah wahana tak berawak pertama yang meninggalkan tata surya kita. Sumber:Wikipedia |
Lantas bagaimana? Manusia sudah mengirimkan wahana tak berawak ke
seluruh penjuru tata surya. Seluruh planet dalam tata surya kecuali
Planet Pluto telah diteliti melalui misi pendaratan, mengorbit, maupun
hanya terbang-lintas (fly-by). Venus dan Mars telah
berkali-kali dijelajahi permukaannya oleh wahana tak berawak Uni Soviet
dan Amerika Serikat. Merkurius telah dipetakan melalui misi
terbang-lintas Mariner 10 pada tahun 1974 dan wahana Messenger
beberapa bulan lalu telah dikirimkan dan akan tiba pada Maret 2011
nanti. Wahana Galileo telah bertahun-tahun mengorbit Jupiter sebelum
akhirnya “dimatikan” oleh NASA. Dan baru-baru ini wahana Cassini-Huygens
telah mencapai satelit Saturnus, Titan, setelah perjalanan panjang 7
tahun. Tata surya seolah sudah terlalu kecil bagi manusia. Lantas
bagaimana? Manusia mengirimkan wahana tak berawak menuju bintang
terdekat? Itupun sudah. Wahana tak berawak Pioneer 10, Voyager 1 dan 2,
diluncurkan 30 tahunan lalu, kini sudah berada di perbatasan tata surya
kita dalam perjalanan meninggalkan tata surya.
Namun di balik semua pencapaian itu, manusia ternyata masih tertidur dalam buiannya. Pionir roket modern, Konstantin Tsiolkovsky,
berujar, “Bumi adalah buaian pemikiran namun manusia tak dapat tinggal
dalam buaian selamanya.” Mimpi Kubrick dan Clarke masih jauh dari
kenyataan karena hingga saat ini sejauh manusia dapat pergi adalah
384.000 km, jarak dari Bumi ke Bulan. Walaupun penerbangan ulang-alik ke
orbit Bumi sudah menjadi hal biasa dan Stasiun Antariksa Internasional (ISS—International Space Station)
sedang dalam tahap konstruksi, kolonisasi Planet Mars dan penerbangan
berawak menuju Jupiter masih jauh dari kenyataan. Pun hingga saat ini
belum ada rencana untuk memprogramkan pendaratan manusia di Mars,
misalnya, atau pembangunan koloni di Bulan. Tiga badan antariksa
terdepan di planet ini, NASA (National Aeronautics and Space Administration—Badan Antariksa Amerika Serikat), ESA
(European Space Agency—Badan Antariksa Uni Eropa), dan
Rosaviacosmos—Badan Antariksa Rusia, bersama dengan Jepang dan Kanada
masih sibuk membangun ISS dan NASA merencanakan penerbangan berawak
menuju Mars sebelum 2010. Sejauh ini 438 manusia telah pergi ke
antariksa, namun bagaimana masa depan manusia di antariksa?
Masalah paling besar yang menghalangi manusia menjelajahi antariksa sudah diketahui semenjak Jules Verne menulis Dari Bumi ke Bulan (From the Earth to the Moon)
pada 1865—astronot menghabiskan sebagian besar waktunya dalam keadaan
tanpa bobot. Beberapa waktu sebelum Perang Dunia II, pada tahun 1939,
saat Arthur C. Clarke dan beberapa kolega membentuk Perkumpulan
Antarplanet Inggris (British Interplanetary Society),
mereka merancang sebuah stasiun antariksa berbentuk silinder yang
berotasi pada sumbunya, sehingga gaya sentrifugal menghasilkan gaya
berat kepada penghuni yang berada di bagian dalam “lantai” silinder.
Stanley Kubrick menunjukkan keadaan seperti ini dalam 2001: A Space
Odyssey. Desain seperti ini dibuat karena saat itu tak ada yang tahu
bagaimana reaksi manusia pada keadaan tanpa bobot, karena keadaan
tersebut tak dapat dihasilkan Bumi lebih lama dari beberapa detik saja.
Skenario terburuk yang dibuat adalah detak jantung yang tak terkendali
dan kematian yang cepat namun menyeramkan (ketakutan inilah yang membuat
insinyur Uni Soviet pada masa perang dingin merancang kapsul roket yang
sepenuhnya dikendalikan dari Bumi, dan yang mendorong insinyur NASA
untuk mengirimkan simpanse lebih dahulu ke antariksa). Sekarang kita
sudah mengetahui bahwa ketakutan itu ternyata berlebihan dan astronot
yang berada dalam keadaan tanpa bobot semuanya baik-baik saja, walaupun
ada banyak sekali pengaruh jangka panjang yang masih belum sepenuhnya
kita mengerti. Manusia kini telah tinggal di antariksa selama lebih dari
satu tahun (pemegang rekor dunia untuk tinggal paling lama di antariksa
adalah Valery Polyakov, 437 hari dalam Stasiun Mir) dan beberapa
astronot sudah demikian ketagihan dengan kebebasan dari gravitasi
sehingga enggan untuk kembali ke Bumi.
Dalam keadaan tanpa bobot, informasi gravitasi menghilang dari otak
sehingga orientasi “atas” dan “bawah” pun menghilang. Telinga
mengirimkan sinyal membingungkan ke otak dan mata mengalami ilusi, bagi
beberapa orang hal ini dapat memualkan. Cairan tubuh mengalir ke dada
dan kepala. Urat leher mengembang, wajah memerah. Jantung membesar
sedikit dan demikian pula organ-organ lainnya. Otak merasakan cairan
tubuh terlalu banyak sehingga tubuh pun membuangnya: Kalsium,
elektrolit, dan plasma darah. Produksi sel darah merah berkurang
sehingga astronot menderita anemia. Dengan hilangnya cairan tubuh, kaki
pun mengecil. Selama menjadi Direktur Insitut Penelitian Permasalahan
Biomedik Rusia dari tahun 1968 hingga 1988, Oleg Gazenko melihat
kosmonot-kosmonot yang kembali dari penerbangan panjang turun dari
kapsul dalam keadaan limbung, pucat, tak tahan berdiri, dan harus
ditandu. “Kita adalah makhluk Bumi. Perubahan ini adalah harga yang
harus dibayar untuk karcis ke luar angkasa,” ujarnya. Tidak hanya berat
badan yang menurun, namun juga massa otot dan kerapatan tulang akan
menurun akibat kerja dalam keadaan bobot menjadi sangat kecil.
Osteoporosis mengancam karena tulang kehilangan kerapatannya sebesar 1
hingga 2 persen dalam sebulan, sebanding dengan laju kehilangan seorang
perempuan pasca menopause dalam satu tahun. Oleh karena itu sebelum kita
mengirimkan manusia ke antariksa untuk jangka waktu yang lama,
persoalan fisiologis ini harus dijawab terlebih dahulu. Dengan teknologi
roket yang ada sekarang aja, perjalanan menuju Planet Mars memakan
waktu kurang lebih 260 hari. Total lamanya perjalanan antariksa adalah
522 hari ditambah waktu tinggal di Mars selama 455 hari untuk menunggu
saat yang terbaik (lihat gambar di bawah).
Masalah kedua adalah radiasi. Di luar atmosfer Bumi berkeliaran
partikel bernergi tinggi yang dilontarkan matahari melalui mekanisme
Pelontaran Massa Korona (Coronal Mass Ejection—CME)
dan radiasi sinar kosmis yang berasal dari Galaksi Bima Sakti atau sisa
supernova. Eksposur terhadap radiasi pada astronot yang berada dalam
perjalanan ke Mars akan jauh lebih besar daripada astronot dalam orbit
Bumi atau pada permukaan Bulan. Ion berat yang dibawa radiasi sinar
kosmis dapat membombardir sel tubuh, memecah struktur DNA dan
menyebabkan kanker.
Berbagai penyelidikan telah dilakukan untuk menghadapi persoalan
fisiologis dan radiasi ini. Olahraga rutin terbukti mampu mengatasi
beberapa persoalan fisiologis. Kosmonot Yuri Romanenko—yang melakukan
olahraga secara rutin dengan menggunakan treadmill di Stasiun Mir—setelah
menyelesaikan misi selama 329 hari langsung melakukan handstand dengan
satu tangan di depan wartawan. Bahan semacam polietilen pun telah
terbukti sanggup menyerap radiasi yang ditimbulkan oleh sinar kosmis.
Polietilen telah lama digunakan dalam kapal selam nuklir untuk
melindungi pelaut di dalamnya dari radiasi dari reaktor nuklir.
Lalu untuk apa seluruh hambatan ini—baik alamiah maupun
teknologi—dihadapi untuk membawa manusia menjelajah antariksa? Selain
eksplorasi untuk ilmu pengetahuan, ruang angkasa menjadi solusi bagi
persoalan pemukiman. Dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat,
hampir 2 persen setiap tahunnya (ini berarti jumlah penduduk Bumi
berlipat ganda setiap 40 tahun), maka dalam jangka waktu beberapa ratus
tahun Bumi akan kehabisan tempat tinggal. Insinyur mulai memikirkan
konsep tentang pemukiman antariksa sebelum kita melangkah untuk
mengkolonisasi Bulan atau Mars. Konsep pemukiman antariksa yang
mengorbit Bumi dengan kecepatan tertentu agar dapat menghasilkan gaya
sentrifugal yang sama dengan besarnya gaya gravitasi di permukaan Bumi
mungkin adalah desain yang paling masuk akal untuk direalisasikan dalam
beberapa ratus tahun ke depan.
Sebagai langkah awal, perjalanan antariksa harus dibuat lebih
efisien. Roket yang ada saat ini sangat tidak efisien karena hanya
sanggup membawa muatan kurang dari 1 persen berat totalnya, sehingga
harus dicari teknologi yang membuat ongkos perjalanan antariksa
sebanding dengan penerbangan antar benua. Ongkos untuk membawa seorang
manusia ke dalam orbit paling tidak hanya beberapa ratus dolar dan bukan
jutaan dolar seperti sekarang (Pada 2001, milyuner Denis Tito membayar
20 juta dolar dan menjadi turis antariksa pertama). Satu cara untuk
mencapai sasaran ini adalah dengan membangun “elevator antariksa” yang
membawa seseorang ke orbit Bumi dengan menggunakan kabel yang digantung
di atas satelit geostasioner yang diam di atas permukaan Bumi (satelit
ini bergerak berlawanan dengan arah rotasi Bumi dengan kecepatan yang
sama). Teknologi satelit geostasioner sendiri kini sudah umum digunakan
terutama sebagai satelit relay TV seperti Satelit Palapa. Apabila ongkos
pengiriman manusia ke antariksa dapat ditekan, maka frekuensi kepergian
ke antariksa dapat ditingkatkan dan pembangunan pemukiman antariksa
bukan tidak mungkin dapat direalisasikan.
Pembangunan koloni Bulan mungkin adalah langkah selanjutnya, terutama
apabila Bulan memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan. Presiden
Amerika Serikat, George W. Bush, beberapa tahun lalu pernah mengumumkan
rencana untuk membangun koloni di Bulan sebagai batu loncatan untuk
pendaratan di Mars (walaupun beberapa kalangan sains di Amerika Serikat
sendiri menduga rencana ini hanya sesumbar saja karena Bush sendiri
tidak memperlihatkan ketertarikan yang besar terhadap ilmu pengetahuan),
dan sisi jauh Bulan (sisi yang tak pernah dilihat dari Bumi) sendiri
merupakan lahan yang strategis untuk pembangunan observatorium astronomi
radio karena bebas dari gangguan sinyal radio dari peralatan elektronik
Bumi.
Mars dari dulu merupakan sasaran kolonisasi, tidak hanya melalui
novel-novel fiksi ilmiah tentang kehidupan di Mars yang sudah
bermunculan semenjak zaman Ratu Victoria pada Abad 19 dulu, tetapi juga
menjadi sasaran menjanjikan semenjak kita mengetahui komposisi atmosfer
Mars yang hampir mirip dengan atmosfer kita dengan kandungan karbon
dioksida dan oksigen yang lebih sedikit. Mimpi untuk membangun pemukiman
permanen di Bulan atau Mars masih berjalan. Gravitasi di kedua tempat
hanya seperenam gaya gravitasi Bumi, sehingga benda-benda beratnya hanya
seperenam dari beratnya di Bumi dan energi yang kita butuhkan untuk
bekerja hanya seperenam dari energi di Bumi. Namun anak-anak yang
dilahirkan pada kedua dunia tersebut akan menghadapi persoalan bila
harus mengunjungi planet nenek moyang mereka, Bumi, karena gravitasi
menjadi enam kali gaya gravitasi planet kelahiran mereka sehingga kerja
menjadi enam kali lebih berat (penggemar komik Dragon Ball karya Akira Toriyama
mungkin akan teringat mesin gravitasi yang dapat mengubah-ubah gaya
gravitasi sehingga seseorang dapat menggunakannya untuk latihan beban
dalam gravitasi yang lebih besar). Dalam beberapa abad mendatang spesies
kita mungkin akan terpisahkan secara gravitasi ke dalam beberapa suku
yang beradaptasi dengan gravitasi nol (ruang angkasa), gravitasi
fraksional (Bulan atau Mars), dan gravitasi satu (Bumi).
Sejauh ini hanya Planet Bumi yang diketahui sebagai tempat paling
bersahabat bagi kehidupan manusia. Pada suatu waktu dalam milenium
ketiga ini kita mungkin akan menghadapi dilema: haruskah kita membiarkan
planet-planet tetangga kita tak berubah, atau kita memodifikasinya agar
dapat didiami tanpa harus menggunakan pakaian pelindung? Teknologi terraforming,
teknologi untuk mengubah wajah sebuah planet, telah banyak diteliti dan
kemungkinan dapat direalisasikan pada beberapa planet dalam tata surya
kita. Alga atau tumbuhan perintis lainnya yang dapat hidup tanpa oksigen
dan kondisi ekstrim lainnya dapat dikirim ke Planet Mars dan mengubah
karbon dioksida yang ada menjadi oksigen dengan bantuan sinar matahari,
dan di orbit Venus dapat dibangun tudung untuk mengurangi sinar matahari
yang masuk. Tentunya persoalan etika akan muncul dalam kebijakan ini
dan protes akan bermunculan dari terutama dari kelompok pecinta
lingkungan yang dengan tepat akan menunjukkan kesalahan-kesalahan yang
telah kita perbuat pada planet kita sendiri.
Pada milenium ketiga ini kita akan memulai zaman antariksa yang sebenarnya. Sebagaimana yang dikatakan almarhum Carl Sagan dalam Cosmos,
kita berada di tepi pantai lautan kosmos dan di seberang lautan kosmos
menanti pulau lain yang siap kita jelajahi. Ombak di tepi pantai
mengundang kita untuk berkelana lebih jauh, namun siapkah kita
mengarungi samudera tersebut? Di luar tata surya kita terbentang
bintang-bintang lain yang membentuk galaksi, masing-masing dengan
keunikannya masing-masing dan ada pula yang memiliki tata surya seperti
matahari kita. Bukan tidak mungkin salah satu di antara planet tersebut
juga memiliki kehidupan seperti manusia. Apapun yang akan kita alami dan
temukan di antariksa nanti, itu akan membentuk masa depan kemanusiaan. Petualangan umat manusia baru akan dimulai.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Centaurus No. 1, terbit pada tahun 2005. Pada saat itu New Horizons,
wahana tak berawak yang akan mengeksplorasi Pluto, belum diluncurkan.
Status keplanetan Pluto pun belum lagi dicabut pada saat itu.
sumber: http://langitselatan.com/2008/01/02/masa-depan-manusia-di-antariksa-star-trek-atau-kolonisasi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar