Titanium dioksida adalah zat yang dicampurkan dalam
pewarna pakaian dan terbukti mengurangi aktivitas bakteri dan ramah
lingkungan.
Tubuh manusia sangat rentan terhadap bakteri,
lebih lagi bila aktivitas yang dilakukan tinggi. Untuk melindungi tubuh
dari bakteri, pemilihan pakaian yang cocok tentu saja sangat penting
dilakukan.
Namun, tidak mudah memilih pakaian yang dapat mengurangi aktivitas bakteri karena banyak bahan pakaian yang justru meningkatkan aktivitasnya. Hal ini tak lain disebabkan karena produsen pakaian tidak menggunakan zat warna antibakteri.
“Selama ini belum ada produsen pakaian yang menggunakan zat warna pakaian antibakteri. Karena itulah, ketika orang beraktivitas tinggi, baju mudah kotor dan menghasilkan banyak bakteri,” papar Peneliti Muda dari Universitas Negeri Yogyakarta yang sekaligus mahasiswa dari Jurusan Kimia, Rimma Hilda Kusumanigtyas, di Yogyakarta, Jumat (27/7).
Atas dasar inilah, Rimma dan dua orang rekannya, Senja Dewi serta Danar, mulai mengembangkan zat warna pakaian untuk mengurangi pertumbuhan bakteri pada pakaian. Tim ini pun menggunakan titanium dioksida (TiO2) untuk dicampurkan dalam zat pewarna pakaian seperti seperti naftol, indigosol, dan rapid.
“Berdasar referensi, titanium dioksida digunakan untuk mengurangi aktivitas bakteri, namun belum pernah ada yang menggunakannya untuk zat pewarna pakaian. Untuk itulah, kami mencoba melakukan uji laboratorium, dan ternyata pembuktian kami benar,” ungkap Rimma.
Berdasarkan hasil penelitiannya, interaksi titanium dioksida terhadap bakteri yang melekat pada pakaian terbukti cukup kuat untuk mereduksi jumlah bakteri. Dalam jumlah yang sangat kecil, aktivitas fotokatalitik titanium dioksida mampu menurunkan kadar bakteri hingga di bawah 10 persen dengan bantuan penyinaran panjang gelombang >324 nm (merupakan fraksi panjang gelombang sinar matahari) selama 15 menit.
“Interaksi titanium dioksida dengan pakaian biasanya berlangsung tidak lebih dari dua jam, yaitu pada saat perendaman pakaian dengan deterjen. Setelah dibilas, titanium dioksida tersebut akan terlarut bersama air,” ungkapnya.
Senja Dewi menambahkan, penggunaan titanium dioksida aman untuk dicampur dalam zat warna kain. Hal ini telah dibuktikan oleh titanium dioksida yang terkandung dalam sabun dan body lotion. Selain itu, titanium dioksida dapat digunakan secara terus menerus selama masih ada cahaya, sehingga tidak menyebabkan pakaian cepat kotor.
Ahli Kimia Anorganik dari Universitas Negeri Yogyakarta Hari Sutrisno mengatakan, bahwa penelitian ini memang sangat bermanfaat untuk menekan aktivitas bakteri dalam bakteri. Selama ini, titanium dioksida memang terkenal sebagai zat antibakteri, namun belum diujicobakan dalam zat warna pakaian. Sementara itu, keuntungan lain dari titanium dioksida adalah zat ramah lingkungan.
(Olivia Lewi Pramesti)
sumber: http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/dikembangkan-zat-pewarna-pakaian-antibakteri
Namun, tidak mudah memilih pakaian yang dapat mengurangi aktivitas bakteri karena banyak bahan pakaian yang justru meningkatkan aktivitasnya. Hal ini tak lain disebabkan karena produsen pakaian tidak menggunakan zat warna antibakteri.
“Selama ini belum ada produsen pakaian yang menggunakan zat warna pakaian antibakteri. Karena itulah, ketika orang beraktivitas tinggi, baju mudah kotor dan menghasilkan banyak bakteri,” papar Peneliti Muda dari Universitas Negeri Yogyakarta yang sekaligus mahasiswa dari Jurusan Kimia, Rimma Hilda Kusumanigtyas, di Yogyakarta, Jumat (27/7).
Atas dasar inilah, Rimma dan dua orang rekannya, Senja Dewi serta Danar, mulai mengembangkan zat warna pakaian untuk mengurangi pertumbuhan bakteri pada pakaian. Tim ini pun menggunakan titanium dioksida (TiO2) untuk dicampurkan dalam zat pewarna pakaian seperti seperti naftol, indigosol, dan rapid.
“Berdasar referensi, titanium dioksida digunakan untuk mengurangi aktivitas bakteri, namun belum pernah ada yang menggunakannya untuk zat pewarna pakaian. Untuk itulah, kami mencoba melakukan uji laboratorium, dan ternyata pembuktian kami benar,” ungkap Rimma.
Berdasarkan hasil penelitiannya, interaksi titanium dioksida terhadap bakteri yang melekat pada pakaian terbukti cukup kuat untuk mereduksi jumlah bakteri. Dalam jumlah yang sangat kecil, aktivitas fotokatalitik titanium dioksida mampu menurunkan kadar bakteri hingga di bawah 10 persen dengan bantuan penyinaran panjang gelombang >324 nm (merupakan fraksi panjang gelombang sinar matahari) selama 15 menit.
“Interaksi titanium dioksida dengan pakaian biasanya berlangsung tidak lebih dari dua jam, yaitu pada saat perendaman pakaian dengan deterjen. Setelah dibilas, titanium dioksida tersebut akan terlarut bersama air,” ungkapnya.
Senja Dewi menambahkan, penggunaan titanium dioksida aman untuk dicampur dalam zat warna kain. Hal ini telah dibuktikan oleh titanium dioksida yang terkandung dalam sabun dan body lotion. Selain itu, titanium dioksida dapat digunakan secara terus menerus selama masih ada cahaya, sehingga tidak menyebabkan pakaian cepat kotor.
Ahli Kimia Anorganik dari Universitas Negeri Yogyakarta Hari Sutrisno mengatakan, bahwa penelitian ini memang sangat bermanfaat untuk menekan aktivitas bakteri dalam bakteri. Selama ini, titanium dioksida memang terkenal sebagai zat antibakteri, namun belum diujicobakan dalam zat warna pakaian. Sementara itu, keuntungan lain dari titanium dioksida adalah zat ramah lingkungan.
(Olivia Lewi Pramesti)
sumber: http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/dikembangkan-zat-pewarna-pakaian-antibakteri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar