Peran warna telah dimanfaatkan secara luas dalam mengekspresikan sesuatu. Dalam dunia burung, burung jantan senantiasa memiliki warna yang beraneka, berkilau dan lebih indah daripada burung betina. Hal ini penting untuk menarik perhatian burung betina ketika musim kawin tiba.
Alam beserta isinya termasuk binatang dan mikroba dengan kelengkapannya menyediakan kemudahan dalam analisa bioteknologi. Kemudahan tersebut digunakan manusia dengan memanfaatkan beberapa binatang dan mikroba yang memiliki kemampuan menghasilkan warna atau bisa memancarkan cahaya (berpendar) dengan warna tertentu.
Istilah bioluminescence sering digunakan untuk mendefinisikan kemampuan berpendar ini. Contoh mikroba yang memiliki kemampuan menghasilkan warna adalah Escherichia coli, sedangkan binatang yang memiliki bioluminescence diantaranya firefly (kunang-kunang), jellyfish (ubur-ubur) dan ikan laut-dalam seperti anglerfish. Plankton, gurita dan cumi-cumi tertentu juga memiliki kemampuan berpendar. Sedangkan dari jenis mikroba, bioluminescence dimiliki oleh kebanyakan anggota dari famili Vibrionaceae.
Namun perlu diingat bahwasanya kemampuan menghasilkan warna atau pun sifat luminescence tersebut tidak digunakan secara langsung, tetapi melalui teknik isolasi gen yang mengkodenya. Dan telah ditemukan bahwa gen yang mengkode kemampuan menghasilkan warna pada E. coli adalah GUS (beta-glucuronidase), sedangkan kemampuan berpendar pada kunang-kunang dikode oleh LUC (luciferase), dan pada ubur-ubur dikode oleh GFP (green fluorescent protein). Lantas, bagaimana para ahli biotek memanfaatkan sifat yang ada tersebut?
GUS dengan warna biru
GUS (beta-glucuronidase) merupakan enzim yang ditemukan pada bakteri Escherichia coli K-12 [1] dan bisa menghasilkan warna jika diinkubasikan dengan sebuah substrat [2]. Dalam reaksinya dengan GUS, substrat yang biasa digunakan adalah 5-bromo-4-chloro-3-indolyl glucuronide (X-Gluc). Dalam perkembangannya, GUS banyak digunakan sebagai marker (penanda) atau reporter (pelapor) suatu gen melalui teknik promoter:GUS fusion system pada tanaman. Alasannya sederhana, karena pada tanaman normal (wild type) tidak ditemukan adanya aktivitas GUS. Tujuan dari teknik ini adalah untuk menganalisa aktivitas promoter suatu gen pada organ atau jaringan yang berbeda. Karena ekspresi suatu gen tergantung promoternya (berita iptek 15 Mei 2007).
Untuk mendapatkan ekspresi gen pada tanaman, maka konstruksi promoter: GUS fusion harus ditransfromasikan terlebih dahulu dan baru dapat dianalisa pada generasi selanjutnya. Setelah mendapatkan tanaman transgenik, maka analisa eskpresi gen melalui GUS assay akan sangat mudah dilakukan dengan prosedur yang sederhana (berita iptek 23 Mei 2007).
Penampakan ekspresi GUS tersebut menunjukkan pola ekspresi suatu gen yang bertanggung jawab pada proses di suatu organ atau jaringan tertentu. Sebagai contoh RIP1 (Rice Immature Pollen 1), gen penting untuk kematangan pollen (serbuk sari) dan germinasi, memiliki pola ekspresi GUS pada bagian spesifik bunga yaitu anther (kepala putik) dan hanya terekspresi pada fase akhir vakuolasi dan fase pematangan pollen
Luciferase dan Cahayanya
Luciferase adalah nama sebuah enzim yang bisa memendarkan cahaya. Produksi cahaya pada kunang-kunang merupakan reaksi kimia yang terjadi pada organ pemancar cahaya, seperti bagian bawah abdomen (perut). Pada bagian ini, enzim luciferase menggunakan luciferin sebagai substrat untuk merangsang pemancaran cahaya. Cahaya yang dihasilkan memiliki panjang gelombang antara 510 sampai 670 nanometer dengan warna pucat kekuningan sampai hijau kemerahan.
Reaksi yang terjadi tersebut tergolong sangat efisien karena dari total reaksi, 96% diubah menjadi cahaya. Keberhasilan isolasi gen (kloning) luciferase dari kunang-kunang Photinus pyralis pada awal 1980-an oleh Helinski dan Marlene merupakan salah satu babak baru dalam perkembangan bioteknologi [4]. Sama halnya dengan GUS, luciferase juga digunakan untuk analisa ekspresi gen atau sebagai reporter.
Luciferase menghasilkan cahaya dengan cara mengoksidasi luciferin dan pada umumnya bersifat ATP-dependent (Gambar 2). Penggunaan luciferase sebagai reporter gen memiliki keunggulan di antaranya luciferin (substrat) yang dipakai bersifat water soluble (larut dalam air) sehingga dapat dengan mudah masuk ke dalam sel. Selain itu, luciferase bisa melangsungkan reaksinya di dalam sel hidup karena produk reaksinya tidak bersifat toxic (beracun) bagi makhluk hidup.
Dengan keistimewaan tersebut, sistem luciferase telah mengalami berbagai modifikasi bahkan bisa digunakan untuk menyeleksi mutan yang berkaitan dengan stress (cekaman) lingkungan. Sistem ini dibuat dengan menggunakan promoter RD29A (promoter spesifik untuk stress lingkungan)[5] untuk membuat konstruksi RD29A promoter: LUC fusion [6]. Dilanjutkan dengan transformasi pada tanaman (Arabidopsis) dan seleksi seedling (semaian) mutan dalam plate atau petri dish.
Teknik ini cukup efektif dan efisien karena seleksi mutan bisa dilakukan pada fase seedling, setelah perlakuan stress. Untuk teknik pengambilan gambar, penggunaan kamera CCD (Charge Coupled Device) menjadi pilihan sampai sekarang [7]. Secara lengkap, alat detektor luciferase untuk seleksi seedling mutan
Luciferin yang digunakan sebagai substrat memiliki konsentrasi 1 mM dan dimasukkan pada botol sprayer yang terlindung dari cahaya (lindungi dengan aluminium foil). Sedangkan perangkat sistem pengambilan gambar terdiri dari detektor (kamera CCD), pengontrol detektor dan komputer.
Kamera diletakkan di ruang atau kotak gelap (dark chamber) dengan ukuran 40 x 40 x 55 cm (panjang x lebar x tinggi). Kotak gelap diletakkan terpisah dengan pengontrol detektor. Sampel terlebih dahulu harus disemprot dengan luciferin (substrat) secara merata, kira-kira 4-5 kali semprotan. Dengan cepat sampel diletakkan pada tempat sampel (sample stage) yang berjarak 30 cm dari lensa kamera. Biarkan selama 5 menit sebelum pengambilan gambar ekspresi luciferase. Setelah mengatur fokus pada sampel, maka pengambilan gambar bisa segera dilakukan dan langsung bisa diproses di komputer. Contoh hasil pemotretan seperti di bawah ini.
Gambar diatas merupakan tanaman transgenik Arabidopsis dengan menggunakan promoter yang bertanggung jawab terhadap stress lingkungan. Ekspresi luciferase (gambar D, E dan F) menunjukkan bahwa beberapa seedling telah positif mengadung luciferase dan responsif terhadap perlakuan beberapa stress seperti cold (stress dingin), ABA/stress osmotic, dan NaCl (stress garam).
Tingkat ekspresi luciferase bisa dilihat dari warnanya. Warna putih-merah menunjukkan ekspresi tertinggi. Warna kuning-hijau menunjukkan ekspresi sedang, dan warna biru-hitam menunjukkan ekspresi terendah. Untuk itu jika terlalu banyak ekspresi yang positif, maka sebaiknya dipilih ekspresi tertinggi yaitu warna putih. Dengan teknik ini, beribu-ribu tanaman transgenik bisa dapat segera diketahui dan dipisahkan dari tanaman non transgenik dalam waktu yang sangat singkat.
GFP dan Pendaran Hijau
Sesuai dengan namanya, GFP (green fluorescent protein) merupakan sifat luminescence dengan pendaran warna hijau. Pemurnian dan karakterisasi GFP dari ubur-ubur Aequorea victoria dilakukan pertama kali oleh ilmuwan Jepang Osamu Shimomura pada tahun 1960-an [8]. Namun kegunaannya sebagai alat deteksi biologi molekuler masih belum jelas sampai pada awal tahun 1992.
Douglas Prasher melaporkan keberhasilannya dalam mengkloning dan mendapatkan sekuen nukleotida GFP [9]. Keberhasilan kloning tersebut dilanjutkan dengan aplikasi GFP pada dua sistem organisme prokaryotik (bersel tunggal) dan eukaryotik (multi sel/organisme tingkat tinggi). Organisme prokaryotik yang digunakan adalah Escherichia coli, sedangkan organisme eukaryotiknya adalah cacing dari filum nematoda (cacing gelang) yaitu Caenorhabditis elegans. Hasilnya sangat memuaskan. Ekspresi GFP cukup stabil pada kedua sistem tersebut [10].
GFP juga bisa digunakan sebagai reporter ekspresi gen sebagaimana GUS dan LUC. Tidak seperti GUS dan LUC, GFP fusion system memiliki keunggulan tersendiri yaitu tidak memerlukan suatu substrat sehingga deteksinya cukup menggunakan mikroskop. Selain itu GFP juga tidak bersifat toksik sehingga pengambilan gambar bisa menggunakan sel hidup (in vivo imaging).
Akhir-akhir ini, GFP fusion system digunakan untuk mengetahui ekspresi (localization) suatu gen dengan menggunakan onion epidermal cells atau protoplast. Pada umumnya promoter yang dipakai untuk GFP fusion adalah 35S sehingga konstruk akhir menjadi p35S:gen/cDNA:GFP. Ekspresi yang muncul tersebut sering disebut dengan transient expression dari suatu gen.
Untuk onion epidermal cells, caranya cukup mudah yaitu tinggal mereaksikan konstruk gen:GFP fusion dengan reaction mixture yang mengandung gold particle, CaCl2 dan spermidine. Diamkan (inkubasi) dalam es kurang lebih 10 menit dan bilas dengan alkohol. Kering-anginkan dan letakkan pada carrier (pembawa) sampai benar-benar kering (alkohol menguap sempurna). Masukkan pada mesin bombardment dan tembakkan pada onion cell yang telah tersedia. Letakkan dalam ruang gelap semalam, dan keesokan harinya bisa dilihat dengan mikroskop.
Sebagai contoh disini adalah konstruk 35S:BIK1:GFP (menggunakan promoter 35S dan gen BIK1:GFP fusion). BIK1 adalah protein kinase yang bertanggung jawab terhadap resistensi dari infeksi serangan jamur Botrytis cinerea [11]. Ekspresi BIK1 terletak pada plasma membran sel (Gambar 5 bawah) sedangkan GFP yang digunakan sebagai kontrol terekspresi pada sitoplasma dan nukleus (Gambar 5 atas). Ekspresi BIK1 pada plasma membran sesuai perannya sebagai gen resiten jamur. Hal ini berkaitan dengan proses infeksi dari kebanyakan jamur yaitu melalui perusakan dinding sel dan membran sel.
Selain onion epidermal cells, ada satu lagi sistem yang bisa digunakan untuk melihat transient expression dari suatu gen yaitu menggunakan protoplast. Protoplast adalah sel yang telah dihilangkan dinding selnya dengan cara mekanik atau enzimatik. Isolasi protoplast dari organ tanaman (misalnya seedling atau daun muda) biasanya dilakukan secara enzimatik dengan menggunakan enzim untuk merusak dinding sel.
Selulase, pektinase dan xylanase adalah beberapa contoh enzim tersebut. Protoplast selanjutnya bisa digunakan sebagai media untuk melihat transient expression dari suatu gen. Namun tidak seperti onion epidermal cells yang menggunakan bombardment, transformasi konstruk gen ke protoplast menggunakan electroporation atau PEG-mediated transformation.
Sebagai kesimpulan, dari ketiga teknik yang telah dijelaskan di atas, masing-masing memiliki beberapa keistimewaan. Tinggal bagaimana seorang peneliti menyesuaikan teknik yang paling tepat untuk diaplikasikan pada alur penelitiannya. GUS, LUC dan GFP fusion system telah memberikan inspirasi dengan kemudahannya dalam mendeteksi ekspresi suatu gen. Sehingga dalam aplikasinya akan sangat mudah dalam mengeksplorasi fungsi suatu gen pada tanaman.
sumber:
http://www.kamusilmiah.com/biologi/mewarnai-dan-memendarkan-gen/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar