Subscribe:

Astronomi

Jumat, 13 April 2012

Meski Bukan Piramida, Situs Gunung Padang Punya Potensi Wisata


Kompas/Rony Ariyanto Nugroho
Hamparan batu yang tertata di Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, Jumat (10/2). Situs Gunung Padang di ketinggian 894 meter diatas permukaan laut (mdpl) ini merupakan peningalan peradaban Megalitik sekitar rentang waktu 2500 - 1500 SM dan merupakan situs megalitik terbesar se Asia Tenggara.


JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Katastrofik Purba yang dibentuk oleh Staf Khusus Kepresidenan Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam membuat penemuan mengejutkan beberapa waktu lalu. Mereka menduga bahwa Gunung Padang, seperti halnya Gunung Sadahurip, memiliki bangunan piramida. Lewat pengeboran sedalam 20 meter, tim menemukan 3 rongga beserta lapisan material pasir.


Pengeboran yang dilakukan menunjukkan bahwa bangunan sudah ada sejak 4700 SM. Hal ini berarti bahwa bangunan tersebut lebih tua dari Piramida Giza.

Temuan tersebut ditanggapi beragam. Geolog dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) menilai bahwa Gunung Padang bukan piramida tetapi merupakan gunung api purba.

Menurutnya, Gunung Padang terdiri dari sumbat lava yang kemudian rubuh karena aktivitas tektonik atau longsor. Batuan yang rubuh lalu dimanfaatkan untuk membangun punden berundak.

Astronom Ma'rufin Sudibyo mengatakan bahwa umumnya bangunan piramida tak cuma dibangun untuk pemujaan, tetapi juga sebagai alat penentu penanggalan dan perkiraan musim sehingga membantu aktivitas masyarakat.

Di pihak lain, Agung Bimo Sutejo yang tergabung dalam Yayasan Turangga Seta mengungkapkan kemungkinan adanya bangunan piramida di Indonesia besar.

"Aneh kalau dikatakan tidak ada piramida di negara ini. Yang terbuka saja ada. Candi Sukuh dan Candi Cetho itu jelas piramida," kata Agung.

Sebagai buktinya, Agung menyatakan bahwa candi-candi di Indonesia memiliki figur orang Mesir, Aztec dan Sumeria. Jika figurnya ada, maka bangunannya pun seharusnya ada.

Dalam "Rembug Arkeologi Situs Gunung Padang" yang digelar di Pusat Arkeologi Nasional, Kamis (29/3/2012), arkeolog, geolog dan astronom sepakat bahwa gunung Padang harus diteliti secara menyeluruh.

"Gunung Padang ini harus ditindalanjuti. Penelitiannya harus disatuatapi, melibatkan berbagai kalangan. Kelmahan pemerintahan kita adalah ego sektoral, di dunia akademik juga sama," jelas Daud Aris Tanudirdjo, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada.

Menurut Daud, badan arkeologi nasional harus mengakomodasi kepentingan para geolog, arkeolog dan bidang lain yang terkait penelitian Gunung Padang.

Daud mengatakan, Untuk menyimpulkan adanya piramida, harus dilakukan lewat penelitian arkeologis. Pengeboran tidak cukup. Haru dibuka, digali."

Risiko dari penelitian tersebut adalah menggali tanpa menemukan apapun. Pengalaman penelitian peradaban Maya di Lembah Mirador, Guatemala, memberikan pelajaran bahwa apa yang tercitrakan lewat analisis geologi belum tentu merupakan fakta.

"Dengan data yang sama, interpretasinya bisa berbeda-beda," katanya.

Dalam upaya penelitian, Daud menuturkan pentingnya mengedepankan prinsip akademis. Hasil harus akurat tanpa mengumbar hasil yang belum pasti kepada masyarakat. Hal-hal yang belum pasti hendaknya menjadi perdebatan di kalangan akademis.


Menurut sejumlah arkeolog, geolog, dan astronom, Situs Gunung Padang kemungkinan besar bukan piramida. Meski demikian, situs ini tetap punya potensi untuk dikembangkan menjadi daerah wisata.

Demikian terungkap dalam "Rembug Arkeologi Situs Gunung Padang" yang diadakan pada Kamis (29/3/2012) di Pusat Arkeologi Nasional, Pejaten, Jakarta Selatan.

Dalam acara itu, Sutikno Bronto, geolog Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan bahwa Gunung Padang bukan piramida, melainkan gunung api purba.

"Gunung Padang adalah sumbat lava di dalam kawah gunung api purba," kata Sutikno. Sumbat lava adalah bagian atas leher gunung api yang menyembul ke permukaan.

Sutikno menjelaskan, sumbat lava itu hancur berserakan karena proses tektonik dan longsor. Masyarakat setempat pada masa lalu kemudian memanfaatkannya untuk membangun punden berundak untuk pemujaan.

Seiring waktu, punden berundak tersebut ditinggalkan, diduga karena gempa atau tanah longsor. Saat ini dijumpai sisa-sisa dari struktur punden berundak tersebut.

Pendapat Sutikno bertentangan dengan hasil penelitian Tim Katastrofik Purba yang mengatakan bahwa struktrur yang didapatkan di Gunung Padang adalah buatan manusia.

Tim Katastrofik Purba, sebelumnya lewat pengeboran sedalam 20 meter, menemukan tiga rongga di badan gunung. Tim juga menemukan lapisan pasir.

Selain itu, tim pun mengklaim bahwa situs megalitikum Gunung Padang bukan situs biasa. Situs tersebut lebih tua dari Piramida Giza atau dibangun sekitar tahun 4700 SM.

Pengembangan potensi wisata

Meski berpendapat bahwa Gunung Padang bukan piramida, Sutikno juga menganggap bahwa pengembangan situs gunung tersebut, sebagai destinasi wisata, sangat potensial.

"Informasi tentang adanya bangunan piramida cukup sebagai cerita fiksi untuk menambah daya tarik wisata alam di Gunung Padang," ungkap Sutikno.

Selain soal piramida, Gunung Padang juga memiliki mitos "Batu Gendong". Diceritakan bahwa siapa pun yang bisa mengangkat batu tersebut bakal menuai kesuksesan dalam hidupnya.

Potensi wisata lain adalah wisata tambang. Menurut Sutikno, kawasan Gunung Padang memiliki logam dan bahan galian, yang oleh karenanya masyarakat bisa diajak untuk menikmati proses penambangan.

Terkait dengan potensi wisata, Imam Haris, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur, mengatakan bahwa rencana utama pengembangan wisata kini tengah dibuat.

"Untuk itu kita perlu pembebasan tanah. Ada yang sudah dilakukan. Ke depan, kita akan bebaskan lagi 20 hektar. Total yang akan dibebaskan adalah 50 hektar," katanya.

Wisata yang dikembangkan, selain geologi, adalah kebun teh yang rencananya dilakukan bersama produsen teh Sosro. Ada pula curug yang terletak di dekat Gunung Padang.

Jenis wisata perjalanan dengan kereta api juga akan dikembangkan. Pengunjung bisa menikmati pengalaman naik kereta api uap dari Cianjur.
Potensi wisata besar karena dalam beberapa waktu terakhir, jumlah wisatawan 200-300 orang per minggu.
Menyoroti rencana pengembangan wisata, arkeolog mengingatkan pentingnya menjaga kelestarian situs megalitikum Gunung Padang. Perencanaan harus matang sehingga situs tak mengalami kerusakan seperti beberapa destinasi wisata lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar