Subscribe:

Astronomi

Minggu, 25 Maret 2012

Bioluminescence, the Beautiful One



Gen Bioluminescence pada Biota Laut
Adaptasi merupakan salah satu ciri makhluk hidup. Adaptasi adalah cara organisme mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Adapatasi dapat berupa perubahan bentuk diri, jenis makanan maupun perubahan warna. Adaptasi biasa dilakukan untuk melindungi diri dari pemangsa, menarik perhatian lawan jenis atau menarik perhatin makhluk yang akan dimangsa.

Pada hewan laut, adaptasi yang mereka lakukan adalah dengan mengubah warna diri untuk menghindari pemangsa serta menarik perhatian dari hewan kecil disekitar untuk dimangasa. Perubahan warna diri dilakukan dengan cara memendarkan cahaya dari tubuh hewan tersebut. Gen yang mengendalikan pendar cahaya ini adalah Bioluminescence. Bioluminescence dihasilkan dari reaksi kimia yang terjadi pada tubuh makhluk hidup tertentu. Contoh hewan laut yang memendarkan cahaya adalah cumi-cumi, ubur-ubur, gurita, plankton dan lain-lain.
Pengertian Bioluminescence
Kemerlap hijau seringkali terlihat di bawah permukaan laut tropis. Lalu mengapa air laut bisa mengeluarkan warna seperti itu? Kilau hijau itu ternyata dihasilkan oleh cacing api laut untuk menarik perhatian lawan jenisnya daam ritual kawin. Temuan itu berdasarkan riset ilmuan Scripps Institution of Oceanography di Uiversity of Caifornia, San Diego, AS.

Bioluminesensi adalah emisi cahaya yang dihasilkan oleh makhluk hidup karena adanya reaksi kimia tertentu. Hingga saat ini, bioluminesensi telah ditemukan secara alami pada berbagai macam makhluk hidup seperti cendawan, bakteri, dan organisme di perairan, namun tidak ditemukan pada tanaman berbunga, hewan vertebrata terestrial, amfibi, dan mamalia.

    Bioluminescence ini juga memiliki kegunaan yang berbeda-beda untuk setiap individu yang memilikinya, bergantung pada habitat dimana hewan itu tinggal dan situasi lingkungannya. Penjelasan tentang kegunaan dari bioluminescence ini akan dijelaskan pada subbab berikutnya.
Namun, ternyata setiap hewan yang memiliki kemampuan berpendar ini memiliki enzim yang berbeda-beda untuk menghasilkan emisi cahayanya. Misalnya pada bacteria Escheichia coli K-12, memiliki enzim GUS (beta-glucurodinase). Pada kunang-kunang, enzim yang bekerja adalah luciferase, sedangkan pada ubur-ubur Aequorea Victoria adalah GFP (green fluorescent protein). Dengan adanya perbedaan enzim ini, otomatis warna cahaya dan cara kerja bioluminescence-nya juga berbeda.

Bioluminescence is different from:
  • phosphorescence (a delayed emission of light from a source that has beenexcited by light – like glow-in-the-dark toys),
  • fluorescence (like phosphorescence, but emission of waves at a higher energy, i.e. shorter wavelength, and emission ceases when the light source does),
  • iridescence (play of colors producing rainbow effects, as in soap bubbles) , and
  • triboluminescence (optical phenomenon where light is generated by breaking of asymmetrical bonds of crystal by scratching, crushing, or rubbing).

Fungsi Gen Bioluminescence
Most people think of fireflies when it comes to bioluminescent or glowin-the-dark organisms, but many other organisms use bioluminescence as well to communicate, ward off predators, or attract their meal. On land and in fresh water, it is fairly rare with only a handful of bioluminescent mushrooms and insects (not including the recently developed abundance of transgenic glowing organisms like tobacco or rabbits). In the ocean, however, and the deep sea in particular where it is the only source of light, bioluminescence is used by a multitude of creatures: fish, squid, jellyfish,sponges, algae. We propose construction of a small exhibit which will teach children about bioluminescence and allow them to ‘draw’ the bioluminescence onto glow-in-thedark cutouts of the organisms using fiber optic ‘pens’. This exhibit could be positioned in SciTech near the “shadowbox”.

Secara umum, fungsi bioluminescence menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Pertahanan

 Kelompok dinoflagellata, atau yang biasa kita sebut dengan kelompok ubur-ubur, menggunakan emisi cahaya dari enzim  green  flourecent  protein-nya   untuk  mempertahankan diri dari serangan predator. Beberapa jenis dekapoda, sefalopoda dan ikan menggunakan pendaran cahaya ini sebagai kamuflase untuk sembunyi dari predatornya. Mekanisme pertahanan ini membuat mereka tersamarkan diantara sinar lain di perairan. Pada beberapa hewan darat yang juga mengeluarkan cahaya berpendar ini mekanisme pertahanan dengan menggunakan emisi cahaya disebut aposematisme.
Penyamaran dengan menggunakan aposematisme tersebut membuat hewan-hewan tersebut seakanakan beracun untuk dimakan atau tidak enak untuk dimakan sehingga predator akan menghindarinya. Kunang-kunang adalah salah satu hewan yang mengeluarkan cahaya berpendar sebagai aposematisme sehingga predator mengganggap bahwa kunang-kunang tersebut beracun.
Beberapa hewan laut nampak ‘enggan’ untuk memakan zooplankton dikarenakan zooplankton mengeluarkan bioluminescence. Zooplankton tersebut akan mengeluarkan cahayanya saat berada di perut predator, sehingga predator tersebut mudah ditemukan oleh predator lain yang lebih tinggi tingkatannya. Fenomena ini tampak pada udang misid yang memakan dinoflagelata sehingga tubuhnya akan berpendar dan mudah dikenali oleh pemangsa yang lebih tinggi tingkatannya, yaitu Porichthys notatus.
2. Predasi

Selain sebagai pertahanan, bioluminescence juga digunakan para predator untuk menarik mangsanya. Predator yang menggunakan emisi cahaya sebagai predasi adalah ikan angel dan hiu Isistius brasiliensis. Hiu Isistius brasilensis menggunakan bagian bawah rahangnya untuk menarik mangsanya. Cumi-cumi dan ikan-ikan kecil akan mendekat pada cahaya tersebut karena mengira siluet tersebut adanya penyamaran dari mangsa-mangsa mereka. Setelah mangsa-mangsa tersebut mendekat pada rahang paus tersebut, itu akan lebih mudah bagi paus untuk menangkap mangsanya. Selain pada paus Isistius brasiliensis, Ikan paus sperma atau Physeter macrocephalus juga melakukan hal yang sama dalam melakukan predasi. Ikan ini secara itensif melakukan predasi dalam keadaan gelap.
3. Sinyal Kawin

Jika beberapa hewan yang mempunyai bioluminescence menggunakan emisi cahayanya sebagai pertahanan dan predasi, kunang-kunang menggunakan emisi cahaya ini sebagai sinyal kawin. Umumnya kunang-kunang jantan akan terbang rendah dan mengeluarkan emisi cahaya untuk menarik pasangannya. Kemudian kuang-kunang betina yang tertarik akan mengeluarkan emisi cahayanya dengan pola pendaran spesifik yang berbeda. Salah satu kunang-kunang dari spesies Photuris akan meniru dan menghasilkan pendaran yang sama seperti yang dimiliki kunang-kunang lainnya. Hal ini akan menyebabkan kunang-kunang jantan atau betina salah mendekati pasangannya. Kunang-kunang Photuris memanfaatkan hal ini dengan memangsa kunang-kunang lainnya.
Selain pada kunang-kunang, fungsi bioluminescence sebagai sinyal kawin juga dilakukan oleh kelompok cacing di daerah Bermuda yang disebut Odontosyllis enopla..Cacing betina akan mengeluarkan emisi cahaya yang akan menarik cacing jantannya. Ketika cacing jantan datang, cacing betina akan mengerluarkan telur dan cacing jantannya akan mengeluarkan sperma untuk melakukan fertilisasi.

1.1.3.      Reaksi Gen Bioluminescence
Reaksi bioluminescence pada setiap organisme berbeda-beda, bergantung pada organisme itu sendiri dan enzim yang dikandung dalam reaksi bioluminescence tersebut. Namun secara umum, reaksi bioluminescence melibatkan enzim luciferase dan substrat luciferin yag strukturnya dapat berbeda-beda antara satu organisme dengan organisme lainnya. Berikut dipaparkan reaksi bioluminescence pada beberapa organisme:
  1. Bakteri
Reaksi bioluminescence pada bakteri yang menyebabkan bakteri tersebut berpendar adalah sebagai berikut :
FMNH2 + RCHO + O2 à FMN + RCOOH + H2O  + hv
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik dan merupakan oksidasi dari senyawa Riboflafin Fosfat (luciferin bakteri) serta rantai panjang aldehida lemak sehingga menghasilkan emisi cahaya hijau-biru yang dikatalis oleh enzim luciferase. Namun selain luciferase, masih ada enzim-enzim lain yang bekerja pada reaksi ini. Enzim-enzim tersebut diatur oleh sebuah operon yang disebut operon lux.
  1. Kunang-Kunang
Kunang-kunang menghasilkan cahaya yang terdapat pada segmen-segmen tubuhnya, terkadang di bagian perut, terkadang juga di bagian dadanya. Cahaya ini digunakan sebagai daya tarik untuk menarik lawan jenisnya dan mendorong perkawinan.
Kunang-kunang menggunakan enzim D-Luciferin untuk menghasilkan cahaya berpendar. Enzim ini akan mengalami dekarboksilasi oksidatif dengan bantuan ATP sehingga dihasikan cahaya.  Kunang-kunang juga memiliki enzim khusus yang dapat meregenerasi oksilusiferin menjadi D-lusiferin yang dapat digunakan kembali sebagai substrat. Selain D-lusiferin, senyawa L-lusiferin diketahui juga dapat menjadi substrat bagi kunang-kunang untuk menghasilkan pendaran.
Sistem produksi cahaya ini sangat khas dan efisien, karena sekitar 95% energi yang diepas ketika luciferin dioksidasi menjadi oksi-luciferin dalam bentuk berkas cahaya. Sebaliknya, matahari menghasilkan 35% (daeri energinya) dalam bentuk cahaya, dan bola lampu listrik hanya 10% daeri energi yang diserap berwujud cahaya.

  1. Dinoflagelata
Pada Dinoflagelata, substrat luciferin yang bekerja untuk menghasilkan emisi cahaya ini sangat mirip dengan klorofil pada tumbuhan hanya berbeda pada ion metalnya. Struktur luciferin ini juga ditemukan pada sejenis udang yang bergenus euphausiid. Pada pH ± 8, molekul luciferinnya akan berikatan dan dilindungi oleh protein pengikat luciferin. Namun, jika pada pH ±6, enzim luciferin ini akan berubah konformasinya, kemudian sisi aktifnya bebas dan kemudian dihasilkanlah cahaya bioluminescence.
2.  Ostracod
Enzim yang dihasilkan pada Ostracod atau sejenis udang-udangan ini bergantung pada makanannya. Beberapa ikan dapat berhenti berpendar jika ia kekurangan makanannya. Sejauh ini substrat luciferin pada sejenis Ostracod ini adalah dari keluarga Cypridina, Vargula, dan beberapa jenis ikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar