Pages

Jumat, 12 Juli 2013

Aerosol Gunung Berapi, Bukan Polutan, Meredam Pemanasan Global


Berawal dari upaya mencari petunjuk tentang mengapa bumi tidak mengalami pemanasan pada tingkat yang telah diperkirakan para ilmuwan antara tahun 2000 dan 2010, tim riset dari University of Colorado Boulder kini beralih pada penyebab yang selama ini tersembunyi: puluhan gunung berapi yang memuntahkan sulfur dioksida.

Hasil penelitian mereka pada dasarnya mencabut tudingan bersalah pada negara-negara Asia, termasuk India dan Cina, yang diperkirakan telah meningkatkan emisi sulfur dioksida industri hingga 60 persen dari tahun 2000 hingga 2010 lewat pembakaran batubara, ungkap penulis utama studi Ryan Neely. Sejumlah kecil emisi sulfur dioksida dari permukaan bumi pada akhirnya membumbung naik setinggi 12 hingga 20 mil ke lapisan aerosol stratosfir di atmosfer, tempat di mana reaksi kimia menciptakan asam sulfat dan partikel air yang memantulkan kembali sinar matahari ke luar angkasa, mendinginkan planet ini.
Neely menunjuk beberapa pengamatan sebelumnya yang memperlihatkan bahwa meningkatnya aerosol di stratosfir sejak tahun 2000 justru mengimbangi 25 persen tingkat pemanasan yang diduga hasil dari pelepasan emisi gas rumah kaca oleh manusia. “Penelitian baru ini menunjukkan bahwa sejumlah emisi dari gunung berapi yang kecil hingga menengah telah memperlambat pemanasan planet ini,” tegas Neely, seorang peneliti dari Cooperative Institute for Research in Environmental Sciences.
Studi yang dipubikasikan secara online dalam jurnal Geophysical Research Letters ini sebagian dilakukan untuk menyelesaikan dua hasil studi sebelumnya yang saling bertentangan mengenai asal usul sulfur dioksida di stratosfer. Salah satunya studi tahun 2009 yang dipimpin Hoffman David dari NOAA, yang menunjukkan bahwa peningkatan aerosol di stratosfer mungkin berasal dari meningkatnya emisi sulfur dioksida di India dan Cina. Sebaliknya, studi tahun 2011 yang dipimpin Vernier menunjukkan bahwa letusan gunung berapi berperan dalam meningkatkan partikulat tersebut di stratosfer.
Studi baru ini juga didasarkan pada studi tahun 2011 yang dipimpin Salomo, yang menunjukkan bahwa aerosol di stratosfer meredam sekitar seperempat dari pemanasan efek rumah kaca di bumi selama dekade terakhir.
Studi baru ini bergantung pada pengukuran jangka panjang perubahan “kedalaman optik” lapisan anaerosol di stratosfir, dengan mengukur tingkat transparansinya, kata Neely. Sejak tahun 2000, kedalaman optik di lapisan aerosol stratosfir telah meningkat sekitar 4 hingga 7 persen, yang berarti sedikit lebih buram sekarang dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Implikasi terbesarnya di sini adalah agar para ilmuwan perlu lebih memperhatikan letusan kecil dan sedang gunung berapi saat mencoba memahami perubahan iklim bumi,” saran Brian Toon dari Departemen Ilmu Atmosfer dan Kelautan University of Colorado, Boulder, “Namun secara keseluruhan, letusan-letusan ini tidak akan menangkal efek rumah kaca. Emisi gas vulkanik bersifat naik dan turun, membantu mendinginkan atau memanaskan planet ini, sementara emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia terus meningkat.”
Kunci dari hasil studi ini mengkombinasikan penggunaan dua model komputer yang canggih. Salah satunya Whole Atmosphere Community Climate Model (WACCM) Versi 3, yang dikembangkan oleh NCAR dan yang secara luas digunakan di seluruh dunia oleh para ilmuwan untuk mempelajari atmosfer. Tim riset memasangkan WACCM dengan model kedua, Community Aerosol and Radiation Model for Atmosphere (CARMA), yang telah dikembangkan oleh tim riset di bawah pimpinan Toon dalam beberapa dekade ini, dan memungkinkan para peneliti mengkalkulasi properti aerosol tertentu.
Tim riset menggunakan superkomputer Janus di kampus untuk menjalankan tujuh unit komputer sekaligus, masing-masing komputer mensimulasikan aktivitas 10 tahun atmosfer terkait dengan pembakaran batubara di Asia maupun emisi gunung berapi di seluruh dunia. Masing-masing pengoperasian memakan waktu sekitar seminggu, setara dengan waktu yang bisa dicapai dengan komputer yang menggunakan 192 prosesor, memungkinkan tim untuk memisahkan antara polusi batubara dari Asia dan kontribusi aerosol dari letusan kecil gunung berapi di seluruh dunia.
Para ilmuwan mengatakan bahwa set data iklim 10 tahun yang dikumpulkan untuk studi ini tidak cukup lama untuk bisa menentukan tren perubahan iklim. “Makalah ini membahas soal relevansi langsung dengan pemahaman kita tentang dampak manusia terhadap iklim,” jelas Neely, “Ini pastinya menarik bagi mereka yang mempelajari sumber variabilitas iklim 10-tahunan, dampak global dari polusi lokal dan peran gunung berapi.”
Jika letusan kecil dan menengah gunung berapi menutupi sebagian pemanasan akibat ulah manusia, maka letusan yang lebih besar dapat berefek jauh lebih besar, ungkap Toon. Sewaktu Gunung Pinatubo di Filipina meletus tahun 1991, jutaan ton sulfur dioksida yang terpancar ke atmosfer sedikit mendinginkan bumi selama beberapa tahun ke depan.
Kredit: University of Colorado at Boulder
Jurnal: R. R. Neely, O. B. Toon, S. Solomon, J. P. Vernier, C. Alvarez, J. M. English, K. H. Rosenlof, M. J. Mills, C. G. Bardeen, J. S. Daniel, J. P. Thayer. Recent anthropogenic increases in SO2from Asia have minimal impact on stratospheric aerosol. Geophysical Research Letters, 2013; DOI: 10.1002/grl.50263


sumber: http://www.faktailmiah.com/2013/03/02/aerosol-gunung-berapi-bukan-polutan-meredam-pemanasan-global.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar